29 Juli 2019

PERGESERAN PARADIGMA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Masalah utama dalam penerapan UU TPPU adalah belum adanya pergeseran paradigma aparat penegak hukum. Karena praktik bekerjanya hukum di Indonesia, pada umumnya masih dikuasai rezim hukum yang berorientasi pada pelaku (follow the suspect), bukan pada orientasi uang (follow the money).

Hal ini dapat dirasakan upaya penegakan hukum menggunakan instrument pencucian uang masih berbenturan dengan tembok paradigm lama. Karenanya, harus ada upaya ekstra keras untuk menembus mindset konvensional menuju rezim hukum TPPU.

Paradigma hukum di sini dapat diartikan sebagai cara pandang tentang hukum yang memengaruhi cara menjalankan hukum atau cara berhukum dari aparat penegak hukum.

Berikut penjelasan tentang pendekatan follow the suspect dan follow the money:

A. Orientasi pada Pelaku (follow the suspect)

Kerangka berpikir yang melingkupi penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim), masih dikuasai rezim hukum pidana konvensional. Di mana penanganan perkara masih berorientasi pada pelaku. Sehingga, setiap kebijakan yang menyangkut aset atau hasil tindak pidana masih diidentikkan dengan sudah adanya pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana.

Paradigma penegakan hukum itu membawa konsekwensi luas dalam bekerjanya hukum pidana. Konsekwensi itu meliputi:

(1) Konsekwensi Aset

Konsekwensi aset adalah konsekwensi atas semua kebijakanhukum terhadap aset yang merupakanhasil dari tindak pidana. Apabila orientasi penegakan hukum masih tertuju pada pelaku, maka setiap kebijakan atas aset tindak pidana hanya bias dilakukan setelah adanya pemidanaan terhadap predicate crime atau perkara pokoknya yang dalam konteks TPPU disebut sebagai Tindak Pidana Asal (TPA). Sepanjang belum ada pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana dalam perkara asal, maka segala hal terkait dengan aset tidak bisa dilakukan.

Jika demikian, akan berpotensi mereduksi pencapaian tujuan pidana dan pemidanaan. Ini bisa terjadi karena salah satu tujuan pemidanaan terhadap tindak pidana yang di dalamnya terhadap aset, adalah menyelamatkan aset atau mengembalikan aset (the return of aset). Penegak hukum diharap dapat menyamatkan aset dan mengembalikan aset tindak pidana baik untuk kepentingan Negara maupun untuk kepentingan yang dirugikan. Padahal saat yang bersamaan, tindakan hukum yang berbelit atau terlalu prosedural yang membutuhkan waktu lama berpotensi mengurangi nilai aset yang dapat diselamatkan atau juga berpotensi hilangnya asetr sejalan dengan pemanfaatan teknologi dalam mentransaksikan aset, bahkan dalam keadaan tertentu nilai aset tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan. Keadaan ini sudah barang tentu bertentangan dengan tujuan pidana dan pemidanaan.

(2) Konsekwensi pemidanaan

Yang dimaksud disini adalah konsenwensi pemidanaan atas setiap perbuatan yang berhubungan dengan aset hasil tindak pidana tidak bisa dilakukan. Artinya dengan pandangan yang masih berorientasi pada pelaku, maka sepanjang belum ada pemidanaan terhadap pelaku dalam tindak pidana asalnya, maka tidak mungkin ada pemidanaan lain atas perbuatan sebagai ikutan terkait dengan ATP.

Pandangna ini tidak memungkinkan adanya pemidanaan terhadap pihak-pihak yang menyembunyikan, menyimpan, memindahkan dsb, atas ATP, sebelum adanya penjatuhan pemidanaan atas predicate crime.

B. Irientasi pada Uang (follow the money)

Rezim hukum TPPU nampaknya berangkat dari pemidanaan yang berorientasi pada “aset” atau follow the money. Dalam perspektif ini, pemidanaan lebih berorientasi pada aset, artinya mengikuti aset. Itulah sebabnya pemulihan atas ATP, pengembalian ATP baik untuk kepentingan Negara maupun pihak yang dirugikan menjadi salah satu tujuan utama, disamping juga untuk memutus mata rantai kejahatan.

Dalam hal pemidanaan, maka penjatuhan pemidanaan tidak harus menunggu penjatuhan pemidanaan atas perkara pokok yang menjadi sumber perolehan harta kekayaan yang di-TPPU-kan. Mengingat orientasi pada aset, maka kedudukan atau penguasaan atas aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana ini menjadi hal penting. Oleh sebab itu dalam system pembuktian biasanya dianut system pembalikan beban pembuktian, dimana terdakwa diberi kesempatan bahkan menjadi suatu keharusan bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya diperoleh secara sah dan bukan merupakan hasil dari tindak pidana.

Yang menarik dari rezim follow the money ini adalah cara pengungkapan tindak pidana. Karena dalam rezim ini orientasi lebih pada aset, maka dalam mengungkap tindak pidana tidak harus dimulai dari peristiwa pidana apa yang terjadi baru kemudian menelusuri aset yang dihasilkan dari tindak pidana itu, tetapi dapat dimulai dari aset yang ditemukan, untuk kemudian dicari kebelakang apakah aset tersebut diperoleh secara sah atau tidak, yang secara teknis untuk membuktikan apakah aset tersebut diperoleh secara sah atau tidak menjadi beban pembuktian dari terdakwa. Ini lah yang kemudian dikenal dengan pembalikan beban pembuktian.

Hal paling penting terkait dengan pendekatan follow the money dalam penanganan TPPU adalah untuk dapat dilakukan penanganan TPPU baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu perkara pokoknya. Rezim hukum TPPU ini juga memungkinakn perkembangan hukum yang lebih jauh yaitu apa yang disebut dengan instrument non confiction base aset forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa penjatuhan pemidanaan. Dengan system ini, maka orang yang benar-benar melakukan tindak pidana rela untuk melepaskan harta kekayaannya atau asetnya untuk disita tanpa yang bersangkutan dipidana, karena tindakan berupa perampasan aset tidak memerlukan pemidanaan terlebih dahulu atas perkara asalnya.

Dalam perspektif politik hukum, eksistensi UU Tindak Pidana Korupsi yang sudah dilengkapi dengan UU TPPU akan semakin lengkap dengan kehadiran UU tentang NCB,, karena antara TPK, TPPU dan NCB sesungguhnya merupakan instrument tiga serangkai untuk menghadapi tindak pidana terkait dengan aset.

Dengan demikian, setelah adanya UU TPPU tinggal selangkah lagi kehadiran UU tentang NCB. Namun demikian, semujanya tergantugn pada political will dari semua stake holder penentu kebijakan di Negara ini, apakah dalam memerangi tindak pidana yang terkait dengan aset ini secara all out atau hanya setengah-setengah saja (business as usual).


Disari dari tulisan: Dr. Yudi Kristiana, SH., M.Hum. dalam buku Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Perspektif Hukum Progresif , Penerbit Thafa Media, Yogyakarta, 2015, hal. 17-19.

Yudi Kristiana adalah Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilahirkan di Karanganyar, 15 Oktober 1971. Disela-sela profesinya sebagai Jaksa, Yudi diminta menjadi widya iswara luar biasa di Pusdiklat Kejaksaan Agung sejak 2008 untuk mengajar diklat pembentukan jaksa. Disamping itu, ia juga menjadi pengajar Program Pasca Sarjana UNS Surakarta dan UKSW Salatiga.

>>Selanjutnya..!

27 Juli 2019

PENGERTIAN PENCUCIAN UANG

Pencucian Uang atau juga dikenal dengan money laundering adalah perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan melalui berbagai transaksi keuangan sehingga seolah-olah diperoleh dengan cara yang sah.

Pengertian ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh The American President’s Commission on Organized Crime yang mendefinisikan sebagai berikut:

“Money Laundering is the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and then disguises that income to make it appear legitimate.”

Lebih lanjut dikemukakan bahwa tujuan utama dari pencucian uang adalah menyamarkan bahwa harta kekayaan itu diperoleh dari tindak pidana sehingga dapat menikmati hasilnya untuk kegiatan yang sah.

Pengertian tindak pidana pencucian uang yang lain adalah sebagaimana dijumpai dalam Black Law Dictionary:
Money laundering is term applied to taking money gotten illegally and washing or laundering it so it appears to have been gotten legally.”

Dari pengertian ini terlihat bahwa money laundering adalah istilah yang digunakan utuk menggambarkan perolehan uang secara tidak sah dan menggunakannya seolah-olah nampak diperoleh secara sah.

Sementara itu lembaga internasional yang memiliki concern terhadap pencucian uang yaitu The Financial Action Task Force (FATF) dimana Indonesia menjadi salah satu Negara yang ikut aktif di dalamnya, mendefinisikan pencucian uang sebagai:

Money laundering as the processing of criminal proceeds to disguise their illegal origin in order to legitimize the ill-gotten gains of crime.

Dari berbagai definisi pencucian uang tersebut, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa pencucian uang merupakan upaya penyembunyian atau penyamaran asal usul harta kekayaan dengan berbagai transaksi sehingga seolah-olah diperoleh secara sah.

Sebagaimana sebagaimana kejahatan pada umumnya, pencucian uang jug amengalami perkembangan, baik dari sisi modus maupunmedianya, namun demikian dilihat dari sisi proses secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga tahap yaitu:

Pertama, tahap placement yaitu upaya untuk menempatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari kejahatan atau diperoleh secara tidak sah ke dalam system keuangan, misalnya dengna menempatkan di bank, menyetorkan sebagai pembayaran kredit, menyelundupkan dalam bentuk tunai, membiayai kegiatan atau usaha yang sah, membeli barang-barang berharga dsb.

Kedua, tahap layering yaitu upaya untuk memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan. Hal ini dilakukan misalnya dengan mentransfer dari satu bank ke bank lain termasuk antar wilayah atau Negara, menggunakan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah, memindahkan uang tunai lintas Negara, dll.

Ketiga, tahap integration yaitu upaya untuk harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati secara langsung maupun tidak langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakukan pencucian uang, pelakuk tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.

Dalam prakteknya, ketiga tahap pencucian uang ini dapat idlakukan secara terpisah maupun secara simultan.


Dinukil dari tulisan: Dr. Yudi Kristiana, SH., M.Hum. dalam buku Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Perspektif Hukum Progresif , Penerbit Thafa Media, Yogyakarta, 2015, hal. 17-19.

Yudi Kristiana adalah Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilahirkan di Karanganyar, 15 Oktober 1971. Disela-sela profesinya sebagai Jaksa, Yudi diminta menjadi widya iswara luar biasa di Pusdiklat Kejaksaan Agung sejak 2008 untuk mengajar diklat pembentukan jaksa. Disamping itu, ia juga menjadi pengajar Program Pasca Sarjana UNS Surakarta dan UKSW Salatiga.

>>Selanjutnya..!

26 Juli 2019

MONEY LAUNDERING = KORUPSI DAN URGENSINYA



Money Laundering sama bahayanya dengan korupsi. Demikian tulis Abraham Samad, mantan Ketua KPK dalam pengantar buku Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Perspektif Hukum Progresif), karya Jaksa KPK Dr. Yudi Kristiana, SH., M.Hum. Oleh karena itulah Samad mendorong dengan sepenuh hati agar pemberantasan money laundering ini dilakukan seperti halnya pemberantasan korupsi.

Namun, Samad menyayangkan, dalam praktik penanganan money laundering, belum semua penegak hokum dijiwai oleh spirit yang sama. Hal itu ditandai dengan masih dijumpainya dissenting opinion khususnya terkait dengan kewenangan KPK dalam penanganan tindak pidana pencucian uang.

Menurut Samad, terdapat kelemahan dalam UU TPPU terkait formulasi tindak pidana pencucian uang. Maka, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim tidak boleh membiarkan dirinya terbelenggu oleh tali kekang rules, tetapi harus berani membuat terobosan hukum, sehingga dengan demikian tujuan sosial dari hukum dalam rangka membebaskan Indonesia dari tindak pidana pencucian uang itu dapat tercapai.

Urgensi Pemberantasan Pencucian Uang

Dari sisi Pencegahan, Yudi Kristiana, Jaksa KPK dalam buku Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Perspektif Hukum Progresif , Penerbit Thafa Media, Yogyakarta, 2015, upaya pemberantasan pencucian uang tidak hanya sekadar memperberat pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi (TPK) yang memanfaatkan hasilnya untuk kegiatan lain, yaitu selain dengan UU TPK juga UU TPPU, tetapi dimaksudkan untuk memutus mata rantai kejahatan.

Pemutusan mata rantai kejahatan tidak hanya dilakukan dengan mengungkap kejahatan itu sendiri. Tapi bias ditempuh dengan cara memutus pemidanaan dari kejahatan itu, maupun membatasi pemanfaatan dari hasil kejahatan itu.

Itulah sebabnya, tulis Yudi, perlu ada kriminalisasi atau upaya untuk menjadikan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana, dalam hal ini melakukan kriminalisasi terhadap pemanfaatan, penggunaan, dan pendanaan kegiatan dan lain-lain atas harta kekayaan atau aset yang terkait atau berasal dari tindak pidana atau diperoleh secara tidak sah, yang kemudian dikenal sebagai tindak pidana pencucian uang.

Dengan adanya kriminalisasi atas pemanfaatan hasil tindak pidana korupsi, maka dengan sendirinya financing atau kejahatan berikutnya akan terputus. Termasuk juga upaya untuk mengintegrasikan hasil kejahatan dalam sistem keuangan melalui berbagai transaksi yang sah dapat dicegah.

Dengan demikian jelas bahwa alas an dari aspek kriminologis untuk memutus mata rantai kejahatan, uapaya memutus pendanaan kejahatan dan upaya mencegah penggunaan atau pemanfaatan dan tindakan-tindakan lain terkait dengan aset yang merupakan hasil atau terkait dengan korupsi menjadi alasanpenting perlunya pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime tindak pidana korupsi.

Sejalan dengan kedekatan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang, pungkas Yudi, maka merupakan sesuatu yang beralasan kalau tindak pidana pencucian uang itu harus diberantas berseiring dengan tindak pidana korupsi.

>>Selanjutnya..!

25 Juli 2019

MENYIMAK BUNYI KETENTUAN UMUM DALAM PENJELASAN UU PENCUCIAN UANG NOMOR 8 TAHUN 2010

Seringkali disebut bila dampak dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan. Tapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketentuan umum dalam penjelasan UU tersebut, mengandung spirit pemerintah dalam memerangi TPPU.

Berikut uraian lengkap ketentuan umum dalam penjelasan UU TPPU.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana.

Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik.

Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya.

Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.

Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.

Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.

Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini.

Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini, antara lain:

1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang;
2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;
3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5. perluasan Pihak Pelapor;
6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
12. penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;
14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang; dan
15. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

>>Selanjutnya..!

24 Juli 2019

SOAL NETRALITAS HUKUM

Hukum bagi sebagian kalangan sering dianggap sebagai perangkat paling baik dan paling memungkinkan untuk menghentikan perselisihan di dalam kehidupan sosial. Anggapan ini muncul dari sebuah keyakinan bahwa hukum merupakan instrument yang netral dari berbagai nilai atau kepentingan kelompok sosial tertentu.

Hukum harus dipatuhi persis karena hukum merupakan pembadanan dari kepentingan universal; kepentingan semua warga Negara terlepas dari latar belakang ekonomi masing-masing. Hukum harus dipatuhi agar kehidupan sosial berjalan tertib.

Netralitas hukum di sini berarti hukum di tangan para pelaku utamanya, misalnya seorang hakim, selalu bekerja berdasarkan fakta-fakta hukum itu sendiri. Dengan begitu hukum tidak memihak, berlaku sama pada siapapun dari kelompok manapun.

Anggapan tentang hukum di atas juga paralel dengan anggapan tentang kajian mengenainya. Kalangan yang menganggap hukum sebagai sesuatu yang netral telah menerapkan batas-batas tentang bagaimana sebaiknya mengkaji hukum secara ilmiah dan objektif.

Kajian terhadap hukum menurut kalangan ini harus sama dengan cara para ilmuwan alam mengkaji benda-benda, yakni sebisa mungkin harus melepaskan unsur-unsur subjektif seperti kepentingan-kepentingan dari para pengkajinya. Dengan kata lain, kajian terhadap hukukm adalah deskripsi tentang hukum, bukan kritik terhadap hukum.

Namun, anggapan bahwa hukum itu sendiri netral dan kajian terhadapnya juga harus netaral merupakan anggapan yang menurut penulis tidak benar. Hukum tidak pernah benar-benar bebas dari kepentingan-kepentingan di luar hukum. Ia merefleksikan suatu kepentingan kelompok tertentu. Demikian juga denganklaim bebas kepentingan dalam mengkaji hukum yang sebenarnya mengandung kepentingan tertentu, seperti bagaimana melanggengkan tatanan yang ada. Dengan kata lain, mengikuti istilahyang sering dipakai para pemikir Marxis, netralitas hukum hanyalah ilusi.

Kenyataannya hukum tidak pernah bebas dari berbagai paham yang berasal dari kelompok dominan di mana hukum itu dibuat atau dipraktikkan. Karenanya, hukum itu ideologis. Artinya selalu memuat ideology tertentu. Beberapa konsep yang ada di dalam hukum, seperti kesetaraan, hak, dan kebebasan yang merupakan landasan utama praktik hukum sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dari ideology tertentu, yaitu ideology liberalism atau neoliberalisme.

Kesetaraan di hadapan hukum mengandaikan bahwa subjek hukum adalah individu-individu yang dalam dunia sosial memiliki posisi yang juga setara. Paham demikian sangat absurd mengingat kesenjangan merupakan fakta yang tidak dapat disangkal lagi.

Karenanya, konsep kesetaraan di hadapan hukum sejatinya merupakan penyeragaman apa yang sebenarnya tidak seragam (aspirasi buruh vs kepentingan pemilik pabrik, misalnya). Penyeragaman ini pada akhirnya hanya menguntungkan kelompok sosial yang kuat dan meminggirkan yang lemah.

Dalam konteks hukum internasional yang mengatur masalah ekonomi konsep kesetaraan ini juga ditekankan sedemikian rupa, sehingga Negara-negara dengan latar belakang ekonomi yang berbeda-beda, bahkan yang sangat jauh berbeda, dianggap memiliki posisi setara.

Penyetaraan ini tentu saja sangat merugikan Negara-negara miskin dan Negara berkembang seperti Indonesia. Sama seperti hukum nasional, hukum internasional juga tidak bebas kepentingan. Jika dalam hukum nasional kepentingan yang dilayani itu adalah kelompok sosial dominan, baik mayoritas maupun minoritas, maka dalam hukum internasional, yang dilayani adalah Negara-negara maju. Hukum internasional dengan demikian juga sarat dengan ideology dominan dan kontroversial, yakni neoliberalisme.

Disalin dari tulisan: Petrus C.K.L. Bello dalam “Pendahuluan” buku Ideologi Hukum, Refleksi Filsafat atas Idologi di Balik Hukum, Insan Merdeka, Bogor, 2013, hlm. 3-5.

Petrus C.K.L. Bello lahir di Surabaya, Jatim, pada 19 Mei 1968. Ia merupakan pengajar Mata Kuliah Filsafat Hukum di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, pendiri dan managing partner Firma Hukum Bello & Partners Jakarta.

>>Selanjutnya..!

01 November 2015

Inilah Para Pemenang Indonesia Law Awards 2015

Asian Legal Business (ALB) kembali menyelenggarakan Indonesia Law Awards. Tahun ini, ada 22 kategori yang dirilis. Rinciannya, 15 penghargaan untuk law firm, 6 penghargaan untuk in-house counsel, dan sisanya penghargaan khusus untuk managing partner.

Setelah proses panjang penjurian, akhirnya para pemenang Indonesia Law Awards 2015 diumumkan di Jakarta,Kamis (29/10) malam. Berbeda dengan tahun sebelumnya, pada tahun ini ada dua penghargaan khusus.
Pertama, BMW Award yang diberikan kepada Managing Partner of The Year.
Kedua, Hadiputranto, Hadinoto & Partners Award untuk Indonesia In-House Team of The Year. Selain itu, khusus untuk kategori Indonesia Deal of The Year dan Indonesia Law Firm of The Year, para finalis dirilis dalam malam penobatan tersebut.

Para nominator Indonesia Deal of The Year adalah Acquisition Financing for Pertamina’s Acquisition of Murphy Oil Malaysia Assets, Donggi Senoro LNG Project, CapitaLand Joint Venture and Land Acquisition, GSIC’s Joint Investment with Rajawali Group in Property Project in Indonesia, PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk’s Global IPO.

Sementara itu, nominasi Indonesia Law Firm of The Year adalah Assegaf Hamzah & Partners, Hadinoto, Hadiputranto & Partners, Hanafiah Ponggawa & Partners, Hiswara Bunjamin & Tandjung in association with Herbert Smith Freehills, dan Tumbuan & Partners.

Selain rilis finalis dua kategori tersebut, pada malam itu juga baru dirilis siapa saja juri dibalik perlombaan ini. Total ada 23 orang juri yang berasal dari beragam latar belakang, law firm, in-house lawyer, media, dan akademisi. Para pemenang merupakan finalis yang mendapat akumulasi nilai tertinggi dari juri. Tahun ini, law firm Hadiputranto, Hadinoto & Partners yang paling banyak menggondol piala kemenangan.

Berikut ini para pemenang Indonesia Law Awards 2015:

1. Banking and Financial Services Law Firm of The Year:
Hadiputranto, Hadinoto & Partners

2. Employment Law Firm of The Year:
Hiswara Bunjamin & Tandjung in association with Herbert Smith Freehills

3. Real Estate Law Firm of The Year:
Hanafiah Ponggawa & Partners

4. Boutique Law Firm of The Year:
Tumbuan & Partners

5. Restructuring and Insolvency Law Firm of The Year:
Hadiputranto, Hadinoto & Partners

6. Project and Energy Law Firm of The Year:
Hadiputranto, Hadinoto & Partners

7. Dispute Resolution Law Firm of The Year:
- Assegaf Hamzah & Partners
- Hadiputranto, Hadinoto & Partners

8. Intellectual Property Law Firm of The Year:
Hadiputranto, Hadinoto & Partners

9. Debt Market Deal of The Year:
Acquisition Financing for Pertamina’s Acquisition of Murphy Oil Malaysia Assets

10. M&A Deal of The Year:
Acquisition of Tallsman Energy Inc.

11. Project and Energy Deal of The Year:
Donggi Senoro LNG Project

12. Equity Market of The Year:
PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk’s Global IPO

13. Real Estate Deal of The Year:
GSIC’s Joint Investment with Rajawali Group in Property Project in Indonesia

14. Indonesia Deal of The Year:
Donggi Senoro LNG Project

15. Banking and Financial Services In-House Team of The Year:
Maybank Indonesia (dahulu Bank Internasional Indonesia)

16. Energy and Resources In-House Team of The Year:
Siemens Indonesia

17. Construction and Real Estate In-House Team of The Year:
Semen Indonesia (Persero)

18. Deal Firm of The Year:
Assegaf Hamzah & Partners

19. In-House Lawyer of The Year:
Reza Topobroto (Microsoft Indonesia)

20. Hadiputranto, Hadinoto & Partners Award Indonesia In-House Team of The Year:
- Semen Indonesia (Persero)
- Soho Global Health

21. BMW Award Managing Partner of The Year: Ahmad Fikri Assegaf (Assegaf Hamzah & Partners)

22.Indonesia Law Firm of The Year:
Hadiputranto, Hadinoto & Partners

(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt563339e159ab5/inilah-para-pemenang-indonesia-law-awards-2015)

>>Selanjutnya..!

30 November 2009

Kabinet Retorika & Dongeng Kancil

Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua belum seumur jagung tetapi ributnya tak ketulungan. Nusantara polusi kata-kata. Itu karena semua suka bicara. Kata dijawab kata-kata. Justifikasi ditimpa apologia. Merumpun di satu kubangan menjadi retorika. Ya, negeri ini sedang mempraktekkan filosofi banyak bicara dan kerja itu adalah bicara.

Pekerjaan macam ini pernah ngetrend di jagat raya. Dalam berbagai catatan sejarah masa Yunani kuno muasalnya. Yang mempraktekkan kerja macam itu disebut Sokrates dan Plato sebagai Kaum Sofis. ‘Penjual kata-kata’, dan ‘membual’ menjadi komoditas yang laris manis.

Dampak dari ‘jualan kata’ itu melahirkan politisi yang ‘ngecap doang’, suka tipu-tipu, penguasa yang ‘ngadali’ rakyat, dan ahli hukum pokrol bambu. Itu yang kelak menjerat Sokrates ‘pembawa kebenaran’ menjadi pesakitan di negeri pengamal ‘demokrasi murni’ ini.

Kaum Sofis di ratusan tahun sebelum Tahun Masehi itu mengkultuskan kata, karena jalinan kata itu dianggap dewa. Sebab filosofi Kaum Sofis kemudian disebut filsafat Sofia bersendi pada retorika, dan agitasi serta oratoris, nyawa dari segala yang diperjuangkan. Itu pula yang menjadikan kebenaran tidak penting, karena yang diutamakan adalah kemenangan.

Di negeri ini, ‘jualan kata’ itu juga pernah berjaya. Awal abad 20 ‘Dongeng Kancil’ memasyarakat, meluas menjadi menu utama ‘piwulang’, pelajaran moral bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Sebarannya dari Gresik, Jawa Timur mewabah ke seluruh Jawa, Palembang, dibawa para pedagang sampai ke Tumasik (Singapura), Malaysia dan Brunei, dan akhirnya ‘Si Pelanduk’ bagian dari ‘budaya serumpun’.

Malah di abad 14 yang disebut De Graff dan De Han di jantung Majapahit berkembang Islam Syiah itu, dalam Babad Gresik dikatakan mereka juga punya fabel Kancil yang bernama Falando Kancieh, Sang Kancaci, atau Si Kancil. Dengan demikian, rasa-rasanya, Sang Kancil ini fabel Persia yang digemari Kiai Semboja, dan dipakai sebagai ‘alat’ mengkomunikasikan agama.

Kiai Semboja memang tak banyak dikenal. Beliau adalah saudagar Gresik yang sukses, suami Nyi Ageng Pinatih. Nama belakangan ini yang kesohor, karena merupakan ibu angkat Sunan Giri. Tak salah jika Raden Paku, nama kecil Sunan Giri, bersyiar Islam, mendalang dengan tokoh Kancil.

Si Kancil ini memang dikisahkan cerdas, suka bicara, kendati juga dikenal culas, mahir tipu-tipu. Yang kena tipu seperti itu adalah petani, yang dalam folklore dikatakan timunnya dicuri.

Tapi di balik itu, seperti tertuang dalam ‘Syair Kancil Yang Cerdik’, Hikayat Pelanduk Jenaka’, sampai ‘Layang Cariyos Kancil’ dikatakan, binatang ini amat luar biasa. Dia pemersatu satwa di hutan belantara. Dia tegas bertindak demi keutuhan warga rimba.

Dia hadapi kerbau dan harimau yang merasa sebagai satwa buas, kuat, dan mentahbiskan dirinya sebagai penguasa. Setelah takluk, Kancil bertindak selayaknya pemimpin. Reward dan punishment diterapkan. Harimau serta kerbau tak berkutik tatkala dijatuhi hukuman. ‘Pemimpin kuwi kudu teges. Yen ora teges kuwi maqome sing dipimpin’, begitu petuahnya. Pemimpin itu wajib tegas. Kalau tidak tegas itu maqomnya yang dipimpin.

Kancil bukan hanya umbar kata-kata. Dia lengkap sebagai negarawan. Kata dan tindakan sepadan. Dia paham ‘berkuasa’ itu sama dengan tamsil ‘naik macan’. Yang ‘dikuasai’ takut macan yang ditunggangi, ‘penguasa’ ngeri turun dari macan yang siap memangsanya.

Dari Dongeng Kancil & ‘asbabul nuzul’ retorika terdapat pelajaran berharga. Kalau Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan institusi lain ada masalah, kenapa hanya ‘kata-kata Kancil’ yang dipakai, bukan tindakannya? Padahal Kancil juga representasi dari Pancasila, ‘permusyawaratan dan permufakatan’.

Retorika ternyata memang bukan penyelesaian. Biarpun kata-kata penting untuk diutarakan, tetapi tindakan amat lebih penting dibanding perdebatan. Kini rakyat sedang menunggu tindakan tegas dari pemimpinnya itu. Bukan kata-kata yang bersifat retoris.

Oleh Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.
Sumber : detik.com)

>>Selanjutnya..!

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP