19 Juli 2009

Keunikan Perguruan Seni Beladiri Benjang Mekar Jaya (2)

Pola gerak dalam seni beladiri Benjang mirip gulat gaya romawi kuno. Hanya saja, gerakan-gerakannya amat mematikan. Seorang pebenjang bukan sekadar dibekali keterampilan dan kekuatan fisik semata, namun juga magic. Ada lelaku khusus yang dilakukan pebenjang sebelum turun bertarung. Dengan ilmu magic inilah seorang pebenjang menjadi tahan pukulan dan jauh dari risiko cidera. Selebihnya, Benjang kaya akan nilai-nilai seni dan unsur hiburan.

Muasal lahirnya Bejang sebenarnya tak lepas dari unsur hiburan. Sebab pada tahun 1914, jenis seni Benjang muncul sebagai sarana penghibur bocah-bocah yang baru dikhitan. Namun tanpa diduga, perkembangan Benjang sangat pesat. Kesenian Benjang yang semula hanya sarana hiburan, melebar menjadi beladiri yang dipertandingkan antar kampung. Puluhan jawara di Bandung dan Sumedang kerap kali menjajal kemampuannya dalam beladiri Benjang.

Hanya saja, istilah yang berkembang untuk seni beladiri ini dulunya bernama Genjang, yang maknanya pagenjang-genjang atau tarik-menarik, lalu banting. Uniknya, selama gelar tarung genjang berlangsung, kesenian ini diiringi musik bernama Dog-Dog. Pada saat itu, jago-jago Genjang dari Cibolerang, Gedebage, Rancaekek, Ujungberung, Gedebage, Cimanggung (semuanya di Bandung), Tanjungsari, Cikeruh, dan Rancakalong (daerah Sumedang), sering bertarung dalam berbagai pertunjungan Genjang.

Seiring dengan perkembangan waktu, pola gerak yang semula terkesan tak teratur, mulai disempurnakan. Alat musik pengiring Genjang pun diganti. Sejak itu pula, istilah Genjang pun berganti menjadi Benjang. Aturan-aturan dalam lawan tanding pun mulai diterapkan secara ketat. Bahkan setiap pebenjang yang akan turun arena, harus menandatangani kesepakatan untuk tidak mengajukan tuntutan apabila mengalami cidera serius.

Sampai beberapa kurun, kesenian ini masih digemari. Namun masuk tahun 1980-an, pamor kesenian ini mulai pudar, seiring masuknya jenis beladiri asing semacam karate, taekwondo, kempo, kungfu dan lain-lain. Bahkan boleh dikata nyaris lenyap. Meski begitu, masih ada kantung-kantung seni tradisional rakyat yang melestarikannya, disamping tentunya sebagai matapencaharian. Sehingga selain pola geraknya disempurnakan, unsure-unsur hiburannya lebih ditekankan.

Secara sepintas, gerakan beladiri Benjang mirip dengan olaraga gulat. Namun bila ditilik seksama, perbedaannya tampak nyata. Secara prinsip, gulat lebih mengandalkan kelenturan dan keterampilan mengunci lawan. Sementara pada Benjang sebaliknya. Berhasil melumpuhkan lawan dengan cara yang paling mematikan, maka dialah keluar sebagai pemenangnya. Beladiri Benjang memang berbeda dengan kebanyakan seni beladiri lainnya. Benjang memiliki tingkat risiko cidera lebih tinggi.

Unsur magic

Oleh karena itu, tidak sembarang orang dapat tampil bertarung di arena Benjang. Karena selain harus bersedia membuat surat pernyataan untuk tidak melakukan tuntutan apabila mengalami cidera yang fatal, para pebenjang yang akan tampil tidak cukup hanya mengandalkan keberanian saja, tapi juga keterampilan dan kekuatan fisik. Selain itu, ada satu hal yang jarang menjadi perhatian masyarakat. Seni beladiri ini sangat kental dengan unsur-unsur magic dalam arti adanya proses pengisian yang melibatkan ritual-ritual berbau supranatural.

Seperti dituturkan Mang Adin (45), guru utama seni beladiri Benjang Mekar Jaya, Ujung Berung, Bandung, seni beladiri Benjang merupakan warisan leluhur. Semua unsur dalam seni Benjang penuh nuansa magic. Seseorang pebenjang sejati, selalu membekali dirinya dengna beragam ilmu magic, seperti tahan dibakar, kebal senjata tajam, dan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa. “Jangan heran ketika kesenian Benjang digelar, ada pebenjang yang bisa melakukan hal-hal diluar logika, seperti sanggup menangkap ikan dengan tangan di sebuah kolam,” tutur Mang Adin.

Meski begitu, tidak mesti setiap orang yang ingin belajar Benjang harus melakukan ritual ilmu magic. Sebab ilmu itu bisa ditransfer dari gurunya. Nah, sebelum berlaga diarena Benjang, pikiran peserta dikosongkan terlebih dahulu. Setelah itu unsure-unsur magic ditransfer ke dalam tubuhnya. Mang Adin sendiri ngulik (menuntut) ilmu magic untuk melengkapi beladiri Benjang dari berbagai tempat. Antara lain berkelana ke banyak tempat seperti Banten dan Sancang.

Perjalanan mencari ilmu itu dilakukan Mang Adin sejak umur 12 tahun, selama 4 bulan. Kala itu Adin yang memiliki leluhur ahli beladiri Benjang, merambah hutan Bojong Koneng, untuk mendapatkan wangsit. Kemudian berkelana ke Subang, Cirebon, Tasikmalaya dan terakhir hutan Sancang. Prosesi itu dilakukan Adin kecil seorang diri. Cara yang lazim dilakukan Adin adalah dengan tidur di makam. Seperti di gunung Manglayang dan Gunung Palasari. Di gunung inilah menurut Adin, penghuni gaib tempat itu tidak memberikan ilmu hikmah, karena dianggap belum dewasa.

Namun dari sebuah suara gaib di Gunung Palasari, terungkap sebuah pesan, bahkan pada waktunya nanti, ilmu itu (ilmu gaib) akan masuk dengan sendirinya.
Dan ternyata benar saja, saat usianya menanjak dewasa, selalu saja ada tamu misterius yang datang kepadanya. Mereka memberi benda-benda bertuah. Perjalanan ngulik ilmu itu dimulai dari hutan Bojong Koneng. Di sana Adin semadi selama seminggu. Kemudian gaib di sana menyuuruhnya pindah ke Gunung Palasari dan Gunung Manglayang.

Di gunung Manglayang itulah Adin mendengar suara gaib yang menyuruhnya pindah ke Makam Rancakalong, Sumedang. Dari sana di suruh ke Muara Tujuh, lalu di ke Cirebon, Pamijahan (Tasikmalaya) dan terakhir ke Hutan Sancang, Garut Selatan. Di hutan Sancang inilah Adin menimba ilmu selama 4 bulan. Mulai Sancang 1 hingga Sancang 9, sudah dirambahnya. Selama 4 bulan itu, Adin dianggap hilang oleh keluarganya. Di sana Adin mempertahankan hidup dari alam rimba. Makan pucuk-pucuk pohon, dan apapun yang ada di dalam hutan. Hingga kemudian disuruh pulang.

Di hutan Sancang itu, Adin mengaku tidak diberi apa-apa oleh leluhurnya. Namun suara gaib memberi petunjuk, nanti bila usia sudah 40 tahun, maka ilmu itu akan masuk ke dalam dirinya. “Alhamdulillah, sejak umur 40 tahun kerap datang tamu misterius dari mana-mana. Mereka memberi benda-benda bertuah, seperti batu-batu keramat dan benda-benda pusaka. Tapi ada beberapa benda yang ditolak, karena dianggap terlalu berat dan takut tidak kuat menerimanya,” ujar Adin.
Setelah ilmu-ilmu magic itu manjing, Adin yang mendapat warisan ilmu beladiri Benjang dengan gencar melestarikannya. Dengan seni Benjang itulah Adin bisa menghidupi keluarga. Di rumahnya, RT 02 RW 08, Kelurahan Pasanggarahan, Ujung Berung, Adin membuka pendidikan beladiri Benjang. Bocah usia di bawah 10 tahun pun, kata Adin, sudah bisa mempelajari Benjang. Kini sudah ratusan murid Adin tersebar di berbagai tempat. Bahkan ada yang sudah menjadi atlit gulat dan berprestasi.

Adin melatih benjang di rumahnya seminggu dua kali. Setidaknya saat ini ada 18 orang murid yang digemblengnya. Biasanya, selama 10 murid-murid sudah bisa. Dan setiap akhir gemblengan, mereka diadu dengan sesama rekan. Setelah itu diadu dengan lain perguruan. Barulah proses terakhir pengisian ilmu-ilmu magic yang diawali dengan memperdalam ilmu pernapasan. (habis)


0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP