17 Juli 2009

Adat Istiadat Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi (2)

Ada satu hal yang patut dicatat dari pola kehidupan masyarakat adat Banten Kidul. Yakni melimpahnya bahan pangan. Ketika orang-orang kota sulit mendapatkan beras murah dan berkualitas, maka sebaliknya bagi masyarakat Ciptagelar. Bahkan konon, hingga dua tahun mereka tak bakal kehabisan beras. Itu semua berkat adanya leuit. Apa sebenarnya leuit ini?

Bagi orang Sunda yang hidup di pedesaan, leuit memang bukan sesuatu yang asing, meski sekarang fungsinya sudah tergerus zaman. Di masa lalu, leuit punya peran vital, sebagai gudang penyimpanan gabah atau beras hasil panen. Pada saat musim paceklik, simpanan gabah itu ditumbuk untuk kemudian dijadikan pemenuhan makan sehari-hari. Di zaman modern sekarang, bisa dikatakan leuit nyaris punah. Apalagi di daerah perkotaan, orang lebih menyukai sesuatu yang serba instan.
Saat orang kota membutuhkan beras, mereka cukup membeli sekarung beras sebanyak 25 kg di toko atau mal. Aspek praktis seperti ini yang menyebabkan fungsi leuit semakin tergerus zaman. Sebaliknya, bagi masyarakat di kaki Gunung Halimun ini, fungsi leuit mendapat peran besar. Ia tidak hanya sebagai lumbung padi semata, tapi sebagai lambang kekuatan pangan mereka. Karena fungsi leuit yang dimanfaatkan sebesar-besarnya itulah mereka tidak akan kehabisan stok beras hingga dua tahun lamanya.

Leuit Si Jimat

Menurut sekretaris Kasepuhan Ciptagelar, Aki Upat (45), keberadaan leuit sangat vital sebagai bumper ketahanan pangan warga. Saking pentingnya, ketika seorang bayi lahir, maka yang pertama dijadikan "hadiah" adalah membangun leuit. Begitu juga saat seseorang menikah, yang pertama harus diurus adalah leuit. "Orang kota, kalau anak lahir biasanya langsung dibelikan boks bayi. Tapi bagi warga kasepuhan, yang pertama diberikan kepada bayi baru lahir adalah leuit," katanya.
Kampung Ciptagelar sendiri termasuk kampung adat, di mana masyarakatnya masih memegang adat istiadat leluhur Sunda. Kampung adat juga tersebar di sejumlah desa, seperti Desa Gunung Malang Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cisitu, Desa Gunung Julang, Purwabakti, dan Desa Cipeuteuy. Semuanya berada di kaki Gunung Halimun.
Menurut Aki Upat, pimpinan kasepuhan Abah Anom bahkan menyebutnya sebagai leuit si jimat. Itu menandakan bahwa leuit sangat berarti bagi warga Ciptagelar. Leuit biasanya dibangun tidak jauh dari rumah pemiliknya. Ukurannya bervariasi, bergantung status sosial pembuatnya. Bagi kebanyakan warga, ukurannya biasanya 4 x 5 meter, sedangkan bagi orang kaya bisa lebih luas lagi, 8 x 10 meter.
"Sebenarnya ukurannya bukan dalam meter, tapi daya tampung. Satu leuit bisa menampung 500 - 1.000 ikat pare gede (jenis padi yang biasa ditanam warga setempat)," katanya. Jika dikonversikan, satu ikat pare gede setara dengan 5 kg. Jadi, leuit yang dibangun warga bisa menampung 2,5 ton sampai 5 ton padi. Bagi penduduk setempat, tidak ada jenis padi yang ditanam selain pare gede.
Untuk jenis ini, biasanya panen satu tahun sekali. Meski begitu, tiap kali panen jarang gagal seperti yang biasa terjadi di daerah lain. Dalam satu kali musim panen, satu hektare sawah bisa menghasilkan sekira 5 ton lebih gabah. Pola tanam yang dianutnya dengan sistem pola tanam serentak. Tujuannya agar bisa mengurangi serangan hama. "Meski satu tahun sekali, hasilnya cukup untuk dua tahun, sehingga pada krisis moneter lalu, orang lain berteriak kelaparan, tapi warga adat yang hidup di kaki Gunung Halimun malah melimpah ruah," tutur Aki Upat.

Patut ditiru

Kehidupan masyarakat adat kaki Gunung Halimun, masih menurut Aki Upat, sangat bergantung pada sumber daya alam dan hutan yang ada di sekitarnya. Sebagai masyarakat petani, kebutuhan mereka juga sangat erat dengan lahan garapan pertanian. "Ini harus kita sadari, penduduk makin bertambah, sementara lahan terbatas," kata Aki Upat.
Menurut Aki Upat, kalau ketersediaan lahan semakin sempit maka mereka dengan sendirinya akan pergi ke hutan, bahkan bisa saja membuka lahan baru di hutan. Nah, inilah yang harus dipikirkan oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap Taman Nasional Gunung Halimun & Salak,” ungkapnya.
Semasa hidup, mendiang Abah Anom, membeberkan formula ketahanan pangan mereka. Bahwa warga tidak menjual hasil panen padinya kepada orang luar, bahkan tidak menjual hasil padinya sama sekali jika memang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup keluarga mereka selama setahun. Untuk membantu warga lainnya jika sewaktu-waktu kehabisan gabah, setiap warga juga menyumbangkan sebagian hasil panen padinya ke lumbung paceklik yang dikelola oleh Abah Anom sebagai pemimpin adat mereka.
Ketentuannya, ungkap Aki Upat, warga Kasepuhan Abah Anom yang tinggal di Desa Sirna Galih (Kabupaten Lebak) misalnya, untuk setiap 100 ikat gabah disetor satu ikat ke Abah. Setiap ikat gabah kering itu beratnya antara tiga sampai empat kilogram. Walaupun panen hanya setahun sekali, rata-rata warga Kasepuhan Cipta Gelar yang mempunyai lahan sawah dan ladang seluas dua hektar, bisa mendapatkan hasil gabah sampai 1.000 ikat.
Hitungannya, untuk satu hektar lahan sawah mereka menanam 20 ikat bibit padi. Bibit padi itu sejak zaman nenek moyang jenisnya selalu sama, yaitu Tampeuy atau Belut. Hasilnya, dari setiap satu ikat bibit dihasilkan gabah 50 ikat. Jika satu ikat gabah kering itu beratnya antara tiga sampai empat kilogram, maka hasil panen padi warga antara tiga sampai empat ton gabah kering. (bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP