PERGESERAN PARADIGMA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Masalah utama dalam penerapan UU TPPU adalah belum adanya pergeseran paradigma aparat penegak hukum. Karena praktik bekerjanya hukum di Indonesia, pada umumnya masih dikuasai rezim hukum yang berorientasi pada pelaku (follow the suspect), bukan pada orientasi uang (follow the money).
Hal ini dapat dirasakan upaya penegakan hukum menggunakan instrument pencucian uang masih berbenturan dengan tembok paradigm lama. Karenanya, harus ada upaya ekstra keras untuk menembus mindset konvensional menuju rezim hukum TPPU.
Paradigma hukum di sini dapat diartikan sebagai cara pandang tentang hukum yang memengaruhi cara menjalankan hukum atau cara berhukum dari aparat penegak hukum.
Berikut penjelasan tentang pendekatan follow the suspect dan follow the money:
A. Orientasi pada Pelaku (follow the suspect)
Kerangka berpikir yang melingkupi penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim), masih dikuasai rezim hukum pidana konvensional. Di mana penanganan perkara masih berorientasi pada pelaku. Sehingga, setiap kebijakan yang menyangkut aset atau hasil tindak pidana masih diidentikkan dengan sudah adanya pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana.
Paradigma penegakan hukum itu membawa konsekwensi luas dalam bekerjanya hukum pidana. Konsekwensi itu meliputi:
(1) Konsekwensi Aset
Konsekwensi aset adalah konsekwensi atas semua kebijakanhukum terhadap aset yang merupakanhasil dari tindak pidana. Apabila orientasi penegakan hukum masih tertuju pada pelaku, maka setiap kebijakan atas aset tindak pidana hanya bias dilakukan setelah adanya pemidanaan terhadap predicate crime atau perkara pokoknya yang dalam konteks TPPU disebut sebagai Tindak Pidana Asal (TPA). Sepanjang belum ada pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana dalam perkara asal, maka segala hal terkait dengan aset tidak bisa dilakukan.
Jika demikian, akan berpotensi mereduksi pencapaian tujuan pidana dan pemidanaan. Ini bisa terjadi karena salah satu tujuan pemidanaan terhadap tindak pidana yang di dalamnya terhadap aset, adalah menyelamatkan aset atau mengembalikan aset (the return of aset). Penegak hukum diharap dapat menyamatkan aset dan mengembalikan aset tindak pidana baik untuk kepentingan Negara maupun untuk kepentingan yang dirugikan. Padahal saat yang bersamaan, tindakan hukum yang berbelit atau terlalu prosedural yang membutuhkan waktu lama berpotensi mengurangi nilai aset yang dapat diselamatkan atau juga berpotensi hilangnya asetr sejalan dengan pemanfaatan teknologi dalam mentransaksikan aset, bahkan dalam keadaan tertentu nilai aset tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan. Keadaan ini sudah barang tentu bertentangan dengan tujuan pidana dan pemidanaan.
(2) Konsekwensi pemidanaan
Yang dimaksud disini adalah konsenwensi pemidanaan atas setiap perbuatan yang berhubungan dengan aset hasil tindak pidana tidak bisa dilakukan. Artinya dengan pandangan yang masih berorientasi pada pelaku, maka sepanjang belum ada pemidanaan terhadap pelaku dalam tindak pidana asalnya, maka tidak mungkin ada pemidanaan lain atas perbuatan sebagai ikutan terkait dengan ATP.
Pandangna ini tidak memungkinkan adanya pemidanaan terhadap pihak-pihak yang menyembunyikan, menyimpan, memindahkan dsb, atas ATP, sebelum adanya penjatuhan pemidanaan atas predicate crime.
B. Irientasi pada Uang (follow the money)
Rezim hukum TPPU nampaknya berangkat dari pemidanaan yang berorientasi pada “aset” atau follow the money. Dalam perspektif ini, pemidanaan lebih berorientasi pada aset, artinya mengikuti aset. Itulah sebabnya pemulihan atas ATP, pengembalian ATP baik untuk kepentingan Negara maupun pihak yang dirugikan menjadi salah satu tujuan utama, disamping juga untuk memutus mata rantai kejahatan.
Dalam hal pemidanaan, maka penjatuhan pemidanaan tidak harus menunggu penjatuhan pemidanaan atas perkara pokok yang menjadi sumber perolehan harta kekayaan yang di-TPPU-kan. Mengingat orientasi pada aset, maka kedudukan atau penguasaan atas aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana ini menjadi hal penting. Oleh sebab itu dalam system pembuktian biasanya dianut system pembalikan beban pembuktian, dimana terdakwa diberi kesempatan bahkan menjadi suatu keharusan bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya diperoleh secara sah dan bukan merupakan hasil dari tindak pidana.
Yang menarik dari rezim follow the money ini adalah cara pengungkapan tindak pidana. Karena dalam rezim ini orientasi lebih pada aset, maka dalam mengungkap tindak pidana tidak harus dimulai dari peristiwa pidana apa yang terjadi baru kemudian menelusuri aset yang dihasilkan dari tindak pidana itu, tetapi dapat dimulai dari aset yang ditemukan, untuk kemudian dicari kebelakang apakah aset tersebut diperoleh secara sah atau tidak, yang secara teknis untuk membuktikan apakah aset tersebut diperoleh secara sah atau tidak menjadi beban pembuktian dari terdakwa. Ini lah yang kemudian dikenal dengan pembalikan beban pembuktian.
Hal paling penting terkait dengan pendekatan follow the money dalam penanganan TPPU adalah untuk dapat dilakukan penanganan TPPU baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu perkara pokoknya. Rezim hukum TPPU ini juga memungkinakn perkembangan hukum yang lebih jauh yaitu apa yang disebut dengan instrument non confiction base aset forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa penjatuhan pemidanaan. Dengan system ini, maka orang yang benar-benar melakukan tindak pidana rela untuk melepaskan harta kekayaannya atau asetnya untuk disita tanpa yang bersangkutan dipidana, karena tindakan berupa perampasan aset tidak memerlukan pemidanaan terlebih dahulu atas perkara asalnya.
Dalam perspektif politik hukum, eksistensi UU Tindak Pidana Korupsi yang sudah dilengkapi dengan UU TPPU akan semakin lengkap dengan kehadiran UU tentang NCB,, karena antara TPK, TPPU dan NCB sesungguhnya merupakan instrument tiga serangkai untuk menghadapi tindak pidana terkait dengan aset.
Dengan demikian, setelah adanya UU TPPU tinggal selangkah lagi kehadiran UU tentang NCB. Namun demikian, semujanya tergantugn pada political will dari semua stake holder penentu kebijakan di Negara ini, apakah dalam memerangi tindak pidana yang terkait dengan aset ini secara all out atau hanya setengah-setengah saja (business as usual).
Disari dari tulisan: Dr. Yudi Kristiana, SH., M.Hum. dalam buku Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Perspektif Hukum Progresif , Penerbit Thafa Media, Yogyakarta, 2015, hal. 17-19.
Yudi Kristiana adalah Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilahirkan di Karanganyar, 15 Oktober 1971. Disela-sela profesinya sebagai Jaksa, Yudi diminta menjadi widya iswara luar biasa di Pusdiklat Kejaksaan Agung sejak 2008 untuk mengajar diklat pembentukan jaksa. Disamping itu, ia juga menjadi pengajar Program Pasca Sarjana UNS Surakarta dan UKSW Salatiga.